Rabu, 20 Januari 2010

PEMILIHAN BUPATI BUKAN UNTUK RAKYAT!


[Oleh: Nurani Soyomukti]


Ini adalah obrolan antara saya dengan dua orang kawan saat kami sedang ‘nyangkruk’ sambil ‘ngobrol’ sambil ‘nyruput’ susu jahe dan kopi di alun-alun Trenggalek.

“Insya Allah ...kita bisa memilih Bupati yang terbaik dari semua calon yang bai baik...Amin”, kata teman saya waktu itu.

Saya menjawab: :Siapa saja berhak jadi bupati Trenggalek, dan sapa saja berhak MEMILIH atau TIDAK MEMILIH... Kalau memilih mudah-mudahan tak keliru agar tidak menyesal di kemudian hari, tetapi kalau bisa jangan hanya memilih, sebab suara sejati bukan dengan kertas, tetapi gerakan dan organisasi yang punya kekuatan utk mengontrol pemerintahan daerah...”

“Ya kalau bisa, diusahakan haknya di pakai untuk memilih, memilih yang benar-benar ‘Pas’.. sesuai harapan kita. Masalah Organisasi dan Gerakan..perlu..tetapi nggak usah banyak-banyak...masalahnya
kalau DPRD sudah bekerja Maksimal sesuai fungsinya pengawasan cukup di DPRD...Insya Alloh kalau semua sudah bekerja Profesional sesuai fungsinya Trenggalek akan bisa bersaing dengan Kabupaten Lain. Amin”, katanya dengan nada yang relijius.

Lalu saya menimpalinya: “Waduh,.kalau pilihan, tidak memilih ya tidak apa-apa. Kan memilih maupun tidak itu Hak universal tuh... kita jangan hanya berharap, tetapi ayo berbuat... kebanyakan orang hanya berharap dan mengeluh, menurut saya, ya kita harus mengajari rakyat untuk aktif... biar demokrasi tumbuh... kalau ada kontrak politik kerakyatan dan itu terjadi antara kemauan rakyat yang butuh kesejahteraan dengan calon bupati kan ‘asyik’... jadi tidak ada CEK KOSONG. Dan itu terjadi secara benar dan terjaga jika rakyat tidak hanya bersandar pada NYOBLOS. Yang harus terjadi adalah adanya dinamika politik dengan kesadaran akan haknya dengan diiringi gerakan... jadi ini adalah demokrasi substansial, yaitu KETERLIBATAN (PARTISIPASI) dan KESADARAN... “

Seorang teman lainnya menimpali: “Duh duh duh... Semua pakar politik ini.. wis aku seng penting memperjuangkan pilihanku wae, yg lain-lain aku kurang paham”.

“Hanya orang picik yang tidak mau belajar dan pasrah pada KETIDAKPAHAMAN-nya.... Aneh! Kamu benar-benar aneh, kawan”, tukasku pada dia.

***
Ya, demokrasi selama ini memang dimaknai sebagai keterlibatan. Tetapi partisipasi selama ini hanya dilihat dari coblos-menyoblos... dan itu hanya sebenarnya tak lebih dari politik "MANUT GRUBYUK".. dengan konsesi praktis, yaitu akan nyoblos hanya karena diberi kaos, supermi, beras, uang receh, dan janji palsu... keterlibatan itu hanya hanyalah semu, karena tak didukung kesadaran... tetapi sadar dan tahu tanpa bergerak dan terlibat juga hanya akan jadi intelektualitas, ONANI (MASTURBASI)... Teori tanpa aksi=masturbasi! Aksi tanpa teori= .....?... Apa ya?

Ya tak usah bilang kalau kita pakar politik... kita semua belajar dan mengatakan sesuatu dengan alasan, bukti, dan gak hanya mengumbar kebohongan, keputusasaan, keraguan, ketakutan, dan watak-watak menjijikkan itu

Kita semua harus belajar dan harus mengatakan sesuatu dengan alasan, bukti, dan tidak hanya mengumbar kebohongan, keputusasaan, keraguan, ketakutan, dan watak-watak menjijikkan itu! Kita semua harus suka LEARNING SOCIETY, MASYARAKAT PEMBELAJAR! Jadi agak aneh kalau orang bangga dengan ketidakpahamannya dan memilih sesuatu tanpa alasan... masih banyak orang seperti itu di dunia ini!

Kita harus percaya: DUA HAL YANG SECARA MATERIAL BERBEDA, JELAS SECARA KUALITATIF BERBEDA... DUA HAL YANG SECARA MATERIAL DIBANDINGKAN, pasti ada yang berbeda kalau fakta materialnya berbeda...... DI ANTARA DUA HAL PASTI ADA YANG BENAR DAN YANG SALAH,,, jadi agak lucu kalau orang memilih tapi tidak ada alasannya... ada alasan tapi gak mau mengatakan ada dua pilihan: (1) takut kalau pilihannya salah dan malu kalau orang lain tahu; (2) tahu pilihannya salah dan malu kalau orang lain tahu serta ada agenda pribadi yang malu jika diungkapkan; (3) tahu pilihannya benar, tetapi ia tak mau mengabarkan kebenaran—jadi, ia egois dan akan memainkan kebenaran itu mungkin utk dirinya sendiri....

jadi, silahkan, kalau mau belajar dewasa dalam politik dan berdemokrasi, kita harus punya nyali dan tidak sekedar ikut-ikutan ('manut grubyuk')... banyak orang ngomong sesukanya, kadang malah bikin bingung, atau asal ngomong asal bisa tampil... dan tak pernah menuntaskan sesuatu atau tak serius.. Hingga, hidupnya cuma main-main.. Dalam praktik politik: jadinya ya hanya permainan politik, yang tentu menyimpan agenda picik anti-kerakyatan.. di atas ketololan inilah politik kita berjalan.. lalu, apakah kita mau terus-terusan berada dalam budaya kemunafikan seperti ini?
Prototipe orang Jawa: mengalah, tunduk, lugu, dan terkesan diam atau takut pada kenyataan... ya kalau memang diapusi ya bilang “diapusi”, kalau salah ya harus kita katakan salah! Dalam hidup ini kita kan melihat kenyataan-kenyataan, pengalaman-pengalaman seharusnya membuat kita belajar dan sampai pada kesimpulan bahwa cara berpolitik kita sangat salah secara mendasar, termasuk cara berfikir pasrah-ngalah, yang merupakan mental INLANDER, warisan kompeni.. Kita memang dijajah 350 tahun dan perlawanan-perlawanan selalu kalah, mulai dari perang Diponegoro, dll... dan bahkan kita seakan dalam alam bawah sadar tertanam bahwa kita ini selalu jadi pengikut dan terjajah.... mental terjajah ini harus kita hancurkan, karena inilah yang membuat bangsa kita tak maju-maju... termasuk takut kebenaran, acuh pada kenyataan, hanya berharap dan tergantung (pada elit politik atau pemerintah)...

Ada yang bilang: “Serahkan semuanya pada yang punya kepentingan, kita berharap saja... Jadi tak bakalan ada yang kecewa karena di apusi”....

Ah, kok “nemen”. Pada hal setahu saya: Penindasan/kebohongan/kemi
skinan yang membuat rakyat kecewa... Bagi yang mengatakan “siapa bilang rakyat kecewa?”, saya harap Mbok sekali-sekali jangan terus-terusan naik mobil, tetapi mbok ya sekali-sekalin naik angkot biar ngerti bagaimana kekecewaan rakyat akan harga-harga yang kian mahal dan hidup yang sulit...

lihatlah apa yang sedang terjadi, saat ini, KECEWA dengan penguasa tak hanya dilampiaskan dalam aksi dan gerakan massa, tetapi SALAHNYA (unfortunetely) dilampiaskan pada istrinya, hingga suami yang di-PHK melakukan kekerasan.. itu fakta psikologis akibat ketimpangan material pakde......

Mbok ya kita berangkat dari hal yang nyata, lalu bergerak....tak hanya berharap berharap dan berharap... yang cara ini terbukti memperlama masa ketertindasan.. budaya inlander harus dihancurkan, Indonesia (trenggalek) harus bangkit, rakyat harus berkesadaran...[]

*) Kedungsigit, 8 Januari 2009

Minggu, 03 Mei 2009

Setelah Putus Cinta: Mulailah Berproduksi dan Berkreasi

oleh Nurani Soyomukti*)

Seharusnya putus cinta menjadikan kamu tambah punya waktu untuk merenungkan kehidupanmu, terutama masa depan kamu. Lagian kamu punya waktu untuk berproduksi dan berkreasi. Bayangkan, jika kamu menghabiskan waktu untuk berduaan, lupa segalanya. Semua kegiatan yang seharusnya kamu lakukan untuk memperkaya pengetahuan dan berperan untuk membangun jati diri berkurang. Apalagi kalau pacar kamu ngekang, membatasi gerak dan ruang kamu, dan membawa kamu pada dunia semu dimana kamu lupa segalanya, maka kamu baik sadar atau tidak akan kehilangan banyak kesendirian dan ruang kebebasan.

Karenanya, tanpa pacar justru dapat membuat ruangmu diwarnai otonomi diri dan dengannya kamu dapat mengekspresikan bakat kamu, berkarya dan mencipta atau bekerja.
Fakta bahwa putus cinta menambah produktifitas, dialami oleh banyak orang, terutama orang-orang terkenal. Misalnya, yang baru-baru saja, adalah artis Taylor Swift yang justru kian produktif dalam berkarya setelah putus cinta. Pelantun lagu ‘Fifteen’ ini masih jomblo setelah putus asmara dengan Joe Jonas, personel Jonas Brothers. Meski jomblo, dia tidak pernah merasa kesepian. Bahkan, putus asmara justru melahirkan sebuah lagu, ‘Forever and Always’. Adakah patah hati membuatnya takut pacaran lagi? Kepada majalah Seventeen, perempuan kelahiran Reading, Pennsylvania, 13 Desember 1989, ini bercerita, jomblo dan kesepian itu adalah dua hal yang berbeda.


Inilah komentarnya: ”Kalau bertemu seseorang yang menarik, saya pasti berkencan lagi. Tetapi, saya bukan tipe perempuan yang tergantung pada pacar. Enggak punya pacar, kan, bukan berarti kesepian. Saya justru memanfaatkan kesendirian untuk melakukan hal-hal yang menyenangkan hati”.
[1]

Swift juga merasa lebih produktif dalam mencipta lagu setelah putus cinta. Dia juga jadi punya waktu untuk melakukan hal-hal kecil yang disukainya, seperti menikmati nyala lilin beraroma dan membaca buku. ”Kalau pengin ngobrol ada para sahabat,” ucapnya sambil menyebut beberapa sahabatnya seperti Selena Gomez, Demi Lovato, Miley Cyrus, dan Emma Stone. Ia merasa tak perlu terburu-buru mencari pengganti Joe Jonas. ”Cinta itu tetaplah misteri, kita tak bisa memperkirakan kapan bakal jatuh cinta,” kata Swift enteng.

Hal yang sama juga dialami oleh artis Indonesia yang menjadi DPR, Angelina Sondakh. Setelah hubungan cinta anggotanya dengan Adjie Massaid (39) benar-benar kandas, ia tak merasakan kekecewaan yang mendalam karena ia punya banyak kegiatan untuk melakukan hal-hal positif. Angie sibuk mengerjakan banyak hal. Salah satunya mengikuti workshop pembuatan patung. Pada workshop pembuatan patung tanah liat di Museum Nasional dalam rangka Pameran Tunggal V perupa Iriantine Karnaya, misalnya, Angie terlihat menikmati kegiatannya. Ini memang terjadi dua tahun lalu, tepatnya pada Juni 2007.

Tapi kita dapat memetik hikmah dari apa yang dialami oleh artis dan politisi ini. Angie mengaku kegiatan membuat patung tak asing lagi baginya. Ketika bersekolah di Presbyterian Ladies College, Sydney, Australia tahun 1992-1994, ia pernah mendapatkan pelajaran ekstrakurikuler seni keramik pembuatan pot. Itu tak jauh berbeda dengan seni patung yang kini sedang digelutinya sekarang. “Hanya saja untuk pembuatan patung kita harus lebih teliti lagi agar patung yang kita buat punya nilai artistik,” kata gadis berkulit kuning langsat ini.

Kegiatan tersebut membawa banyak manfaat. Sebagai anggota DPR, ia dapat menyerap aspirasi langsung dari para seniman dalam berkarya sekaligus sebagai ajang relaksasi setelah satu minggu bekerja sebagai wakil rakyat. “Tapi ternyata membuat patung itu lebih mudah ketimbang membuat undang-undang ya," ucapnya sambil tersenyum. Kala itu, Angie sedang membuat patung tanah liat berbentuk aneka jamur. Ternyata patung-patung yang dibuat oleh Puteri Indonesia 2001 ini mempunyai filosofi tersendiri. Untuk patung berbentuk jamur berarti kita sebagai manusia harus menjamur atau membaur dengan sesama. Jamur banyak mempunyai manfaat, di antaranya untuk mengobati kanker," ujarnya.
[2]

Berbeda dengan peserta lainnya, Angelina secara khusus membuat pula satu patung berbentuk hati. Dia kembali menerangkan filosofi di balik patung hati itu. "Kalau bercinta manusia jangan hanya dengan satu hati, tapi harus hati-hati. Dengan begitu kita tidak menyesal di belakang hari, yang hanya menimbulkan perasaan kecewa dan membuat hidup tidak bahagia," ungkapnya.

Workshop setiap Sabtu ini bermanfaat dengan bidang yang dipegangnya di DPR, yakni mengurus bidang budaya dan pariwisata. “Ketimbang tiap Sabtu pergi ke salon, lebih baik saya pergi ke tempat seperti ini, sehingga saya bisa mengekpresikan diri. Bahkan nanti saya akan ikut kursus merangkai bunga," katanya. Angie juga pernah membatik secara tradisional dengan menggunakan canting.

Iriantine Karnaya yang menjadi instruktur mengatakan bahwa Angelina Sondakh memiliki rasa seni yang luar biasa. Hanya saja Angie masih kaku, karena kurang banyak praktik. “Ternyata hari ini apa yang ada di dalam benakku keluar semua dan menjadi patung-patung yang kubuat ini, ha...ha...ha...," ujar Angie menjawab omongan Iriantine.

Kamu jangan ‘kayak’ artis-artis yang cengeng yang seakan begitu menderita akibat putus cinta. Seperti yang dialami oleh artis Lindsay Lohan di mana putus cinta dari Samantha Ronson membuatnya ‘KO”. Bahkan artris cantik ini butuh bantuan psikiater untuk memulihkan kondisi kejiwaannya. Menurut sumber, kehilangan Samantha yang akrab disapa Sam, membuat kehidupan Lindsay berubah 180 derajat. Dia tak cuma menderita karena patah hati, tapi juga kehilangan kontrol atas hidupnya sendiri.

"Lindsay sekarang sedang sepi job. Hidupnya jadi semakin kosong. Dia benar-benar butuh bantuan psikiater. Teman-temannya ikut berduka karena sekarang Lindsay sendirian," tutur sumber yang dilansir Hollyscoop.
[3] Seakan Lindsay tidak benar-benar memiliki seorang teman sejati. Lindsay lebih suka menghabiskan waktu bersama ibunya, Dina, dan adiknya, Ali. Tak ingin melihat anaknya sendiri tanpa teman, Dina mencoba menghubungi beberapa orang yang pernah menjadi teman Lindsay.

Produktifitas, itulah kuncinya. Suatu penyembuh yang terbaik karena tanpa produktifitas, keterasingan berkembangbiak. Produktifitas dengan kegiatan yang positif dan menghasilkan, serta memperbanyak pengetahuan yang memperkaya cara pandang, adalah obat mujarab bagi kita semua.

Kamu masih punya dunia. Duniamu bukanlah dunia hubungan bersama cowok yang menjengkelkan, tidak perhatian, egois, atau bahkan suka selingkuh dan hanya menginginkan tubuh kamu. Kamu menolak diajak “ML” (‘making love’), dan dia memutus kamu. Kamu hanya dijadikan perempuan penghias hidupnya daripada dia tak punya pacar, tapi begitu dia mendapatkan cewek yang lebih baik dari kamu, diapun memutusmu atau mengkhianati kamu.

Yakinlah bahwa dunia sangatlah luas, tidak seluas daun kelor. Waktu juga akan berjalan. Kamu tidak hanya berpijak di satu petak tanah. Kamu tak harus patah hati karena masih ada ruang bagi kamu untuk bergerak dan ada kemungkinan akan ada teman, kawan, atau kekasih lain yang setia, baik hati, jujur, dan bahkan dapat membimbing kamu agar kamu bersama dia menemukan peran yang tepat bagi kehidupan di masa muda. Syukur-syukur kalau dia akan menjadi suami kamu kelak, atau menjadi bapak dari anak-anakmu yang imut di masa kecil dan akan besar menjadi orang yang berguna.

Ingat, kamu akan menjadi orang bodoh jika berpasangan dengan orang yang bodoh. Kamu akan rusak jika kamu menjalin hubungan dekat dengan orang yang rusak. Kamu akan suka berkhianat kalau kamu sering dikhianati atau kamu hanya menjalani cinta palsu yang penuh kepura-puraan dan kebohongan. Sekali kamu mendapatkan situasi untuk menjadi pembohong, maka kamu akan tumbuh jadi manusia palsu. Carilah kebenaran, raihlah cinta palsu—kamu harus percaya pada Cinta sejati! Tanpa ini, dunia akan tetap tercerai-berai dalam kebencian dan kemunafikan. Dua orang yang sama-sama bodoh dan berkualitas rendah menjalin cinta, menikah, dan membesarkan anak: maka ia akan mewariskan kebodohan pada anak cucunya, pada kehidupan yang terus berjalan.

Jadi, prinsipnya adalah bahwa cinta itu tidak buta. Putus bukanlah akhir dari segalanya. Kamu pasti akan menemukan dunia baru. Dan ciptakanlah dan carilah dunia yang kondusif bagi kemanusiaan dan cintamu. Tinggalkan laki-laki yang suka berkhianat, yang mengekang, dan yang dalam hubungan bahkan tak mendidik kemajuan otak dan mental kamu. Dunia ini tak terdiri dari satu, carilah ruang untuk menjalin cinta. Untuk apa menjalin hubungan jika kualitasnya buruk. Demikian juga, untuk apa menyesali putus cinta jika kamu masih dapat menemukan cinta yang lain?

Renungkanlah! Banyak waktu yang dapat kamu miliki karena tak terampas oleh kegiatan-kegiatan yang tujuannya hanya agar dapat pacaran saja, tetapi juga untuk merebut waktu luang untuk berpikir, meneliti, belajar, menulis puisi, melakukan eksperimen dan tindakan-tindakan yang memungkinkan kamu bebas berproduksi dan berkreasi… Indah bukan? Cinta dan hubungan memang terasa begitu indah jika tak mengasingkan atau sesuai dengan pilihan dan kemampuan kita sendiri untuk mencintai.

Jika kamu tidak punya cita-cita untuk melahirkan kenyataan baru, kebiasaan kamu tetap meniru dan hasil dari reproduksi masyarakat penindasan, maka semangat mencintai kamu tumpul. Pencarian pada dunia baru, setelah kamu putus cinta, sebagai bentuk ungkapan cinta universal didasari oleh semangat untuk merubah, menciptakan kenyataan baru. Sebagaimana diharapkan Minke dalam novel karya Pramoedya Ananta Toer, ‘Rumah Kaca”:
[4]

"Kita semua harus menerima kenyataan, tapi menerima kenyataan saja adalah pekerjaan manusia yang tak mampu lagi berkembang. Karena manusia juga bisa membikin kenyataan-kenyataan baru. Kalau tak ada orang mau membikin kenyataan-kenyataan baru, maka “kemajuan” sebagai kata dan makna sepatutnya dihapuskan dari kamus umat manusia”.
==================
[1] “Putus Cinta, Taylor Swift Malah Makin Produktif “, Kompas, Sabtu 4 April 2009
[2] “Angelina Sondakh: Putus Cinta, Bikin Patung”, dalam http://64.203.71.11/ver1/Hiburan/0706/24/063137.htm
[3] “Putus Cinta, Lindsay Lohan Butuh Psikiater”, Okezone, Senin, 13 April 2009 - 10:30 wib atau http://celebrity.okezone.com/index.php/ReadStory/2009/04/13/33/209978/putus-cinta-lindsay-lohan-butuh-psikiater

[4] Pramoedya Ananta Toer. Rumah Kaca. Jakarta: Lentera Dipantara, 2006, hal. 436

Sabtu, 11 April 2009

Selasa, 24 Februari 2009

Dimuat di Koran PO, 16 Februari 2009:

Di Balik Peningkatan Standar Unas

Oleh: Nurani Soyomukti*

Permendiknas No 78/2008 menetapkan standar kelulusan dalam ujian nasional (unas) 5,50 dengan nilai minimal 4,0 paling banyak di dua mapel dan 4,25 di mapel lain. Angka ini naik 0,25 dibanding tahun lalu. Tampaknya tidak muncul reaksi yang cukup kuat mengenai kebijakan ini sebagaimana tahun-tahun sebelumnya. Pro-kontra tentang standardisasi angka kelulusan Unas kali ini tampaknya hampir tidak terjadi.

Ujian nasional adalah sarana untuk menentukan lulus atau tidaknya anak didik yang telah menempuh pendidikan tingkat tertentu. Proses pembelajaran harus dilihat dari berbagai aspek. Dan saya berani bertaruh bahwa aspek yang paling penting adalah kualitas-kualitas yang dapat diukur. Jadi, ketika masih banyak orang memperdebatkan UN tanpa melihat masalah yang paling penting dalam proses pembelajaran kita, saya melihat bahwa perdebatan tersebut tidaklah berkualitas—mungkin hanya perdebatan politis.

Standardisasi yang sekarang ramai diperdebatkan adalah standardisasi menurut logika kapitalisme karena ukuran kualitas pendidikan Indonesia dibuat berdasarkan para pengambil kebijakan kapitalistik. Pemerintah selalu berargumen bahwa standar UN dengan nilai yang ditetapkan untuk mengeksekusi anak didik lulus atau tidak, didasarkan pada perbandingan kualitas pendidikan Indonesia dengan negara-negara lain. Ditingkatkannya nilai standard kelulusan disesuaikan dengan kepentingan kapitalisme global. Jadi, masalahnya bukanlah dipatoknya standard—bagaimanapun patokan untuk mengevaluasi segala sesuatu sangat penting. Yang masalah adalah dalam kepentingan apa standard itu dibuat dan bagaimana standard itu dibuat dengan dimulai dengan persiapan yang matang, demokratis, dan serius dalam proses pembelajaran.

Jadi ada semacam kelucuan kalau kita menelisik debat kusir standardisasi ujian nasional itu! Di satu sisi pemerintah, melalui Departemen Pendidikan, harus membuat patokan agar di mata kapitalis asing dan negara-negara Barat Indonesia terkesan serius dalam membuat patokan arah pendidikannya—setidaknya dari caranya menaikkan standard kelulusan. Standard itulah yang ingin ditunjukkan oleh pemerintah: “Ini lho, negaraku punya standard lulusan pendidikan sebegini bagus, pasti layak bersaing dalam kapitalisme global!”

Sayangnya, dengan jelas diketahui bahwa peran pemerintah selalu memakai double standard: ketika berbicara mengenai standard kelulusan dan aturan pendidikan mereka bersuara lantang, tapi ketika berbicara alokasi anggaran pendidikan mereka diam seribu bahasa. Alokasi anggaran yang sudah terealisasikan hanya sekitar 8,5% dari anggaran yang seharusnya 20% dari APBN. Alokasi anggaran yang ada diturunkan menjadi BOS (Bantuan Operasional Sekolah), dana ini lebih menitik beratkan pada proiritas perbaikan gedung dan penambahan alat praktek belajar-mengajar. Anggaran untuk memperbaiki kualitas guru dan kurikulum ternyata tidak disentuh.

Kepentingan
Para guru dan beberapa pekerja sekolah yang menyetujui kebijakan pemerintah, selain punya tujuan politis, memang telah memiliki sekolah yang maju—tentu saja sekolah favorit yang fasilitasnya bagus, yang dimasuki anak-anak yang lulus dari sekolah tingkat sebelumnya yang bernilai bagus—tentu saja sekolah ini sangat mahal. Mereka adalah sekolah yang memang terbukti selalu meluluskan siswa-siswanya meskipun standard UN yang titetapkan tinggi.

Sedangkan para guru yang menolak standard kelulusan punya kepentingan untuk melihat anak-anak didiknya lulus semua. Sayangnya, tujuannya adalah agar sekolahnya laku dan tidak punya citra buruk. Karena sekali ketahuan kalau banyak yang tidak lulus dari sekolah tersebut, citra sekolahnya akan buruk. Orangtua yang mengirimkan anaknya ke sekolah itu akan marah-marah dan kadang bernada provokasi agar para orangtua lain jangan menyekolahkan anaknya ke sekolah tersebut. Di tengah berjalannya era perdagangan sekolah, tentu pihak sekolah tidak ingin kalau sekolahnya “tidak laku”.

Itulah yang menyebabkan para guru di sekolah tersebut memanipulasi dengan berbagai cara agar murid-muridnya lulus. Tak heran, jika kecurangan UN adalah gejala yang semarak. Mulai dari guru yang membocorkan jawaban pada siswa-siswanya. Bocornya soal yang masih menjadi rahasia negara sebelum siswa mengerjakannya pada saat hari H ujian. Hingga berbagai macam kecurangan yang selalu menjadi bahan berita media.

Ketidaklulusan pun semakin besar. Berbagai mediapun memberitakan—kadang agak didramatisir—berbagai akibat dari UN, seperti adanya anak yang bunuh diri karena tidak lulus; anak yang rela dicabuli dukun yang dimintai tolong agar lulus mengerjakan soal UN; aksi demonstrasi menolak UN dan gugatan hukum (class action) terhadap pemerintah yang sebagai pengambil kebijakan UN yang dianggap salah; dan berbagai macam “gonjang-ganjing” Ujian Nasional. Kritik terhadap kebijakan ini juga dimanfaatkan oleh faksi-faksi politik yang ingin mendeligitimasi pemerintah untuk tujuan politik tertentu.

Jadi dari kasus semacam itu, yang ingin saya tegaskan adalah bahwa “gonjang-ganjing” UN itu tidak mencerminkan tuntutan masyarakat akan sebuah model pendidikan baru yang mampu menjawab bukan hanya masalah pendidikan Indonesia itu sendiri, tetapi juga proses mencetak manusia-manusia Indonesia ke depan—lebih tegas lagi pendidikan yang mampu membebaskan manusia dari belenggu ketidakadilan yang membuatnya tak menjadi manusia yang sebenarnya (bodoh, tertindas, putus-asa, pasif, tanpa peran sejarah).

_____________
*)Voluntary Educator (Pengajar Sukarelawan) dan Penulis Buku “Pendidikan Berperspektif Globalisasi” (Januari 2008) dan “Metode Pendidikan Marxis-Sosialis: Antara Teori dan Praktek” (Desember 2008).

Rabu, 18 Februari 2009

Ponari, Kembalilah Ke Sekolah!

PONARI, KEMBALILAH KE SEKOLAH!

Oleh Nurani, Ketua Yayasan TABUR (Taman Belajar untuk Rakyat) Jawa Timur; Voluntary Educator (Pengajar Sukarelawan) dan Penulis Buku “Pendidikan Berperspektif Globalisasi” (Januari 2008) dan “Metode Pendidikan Marxis-Sosialis: Antara Teori dan Praktek” (Desember 2008)


Ponari, kembalilah ke sekolah!

Sudah hampir satu bulan engkau tidak masuk sekolah. Bangku di sekolahmu kosong. Teman-temanmu mencarimu, mereka menunggumu, hingga mereka menempelkan nama “Ponari, Kelas III SD” di kursimu.

Ponari, aku tahu engkau adalah anak yang dipilih oleh alam dengan kekuatan rahasianya. Kekuatan yang tak dapat kau jelaskan, bahkan kekuatan alam yang juga tak mampu dijelaskan oleh orang-orang tua dan bahkan para pendidik di negeri ini. Mereka hanya tahu bahwa kamu beri kekuatan untuk menyembuhkan.

Mereka yang berdatangan padamu untuk minta penyembuhan melalui ‘batu petir’-mu dengan berdesak-desakan itu... mungkin hanya memandang kamu sebagai dewa penolong. Mereka tidak perlu penyelidikan ilmiah tentang kemampuanmu. Mereka butuh obat mendesak untuk menyembuhkan sakitnya, juga sakit parah yang diderita saudara-saudaranya!

Dan memang bukan salah mereka kalau mereka datang dari berbagai daerah.. untuk menemuimu, yang membuatmu harus menemui dan mengharuskanmu mencelupkan batu ajaib itu ke dalam air yang akan diminumkan pada si sakit, selain juga dioleskan pada bagian tubuh yang sakit dengan harapan bahwa air dewa petir yang menurut Mama Laurent mengandung kekuatan elektrik itu menyembuhkannya.

Tapi aku lihat, meskipun dari layar kaca (TV), kelihatan bahwa tubuh dan wajahmu kelihatan capek memberikan pelayanan itu. Aku tahu, meskipun kamu tersenyum dan tertawa-tawa saat berada dalam gendongan ketika menemui antrean orang itu, sesungguhnya aku tahu bahwa kamu sudah mulai bosan membawakan peranmu.

Serba sulit, Ponari! Aku juga tak tahu, siapakah yang diuntungkan oleh peranmu ini. Menurutku pemerintahlah yang tertawa-tawa karena bebas dari tuntutan rakyat untuk memberikan kesehatan murah bahkan kalau bisa gratis. Akhirnya engkau tahu, Ponari!—Bahwa negerimu yang kaya ini adalah negara di mana orang sakit sangatlah besar jumlahnya. Dari penyakit yang ringan, hingga penyakit yang parah, semuanya membutuhkan pengobatan agar sembuh. Tetapi pelayanan kesehatan di negeri ini juga belum memadahi. Rakyat masih berbenturan dengan mahalnya harga berobat, sedangkan infrastruktur dan tenaga kesehatan juga masih belum memadahi. Bahkan kebijakan pelayanan kesehatan bukan hanya minim, tetapi juga melanggar hak-hak rakyat akan kesehatan. Dalam laporan WHO (2005) untuk setiap penduduk Indonesia, pemerintah hanya mengalokasikan US$ 4 (sekitar Rp 34.000) per tahun untuk sektor kesehatan. Bandingkan hal ini dengan Malaysia yang pemerintahnya mengalokasikan US$ 77 (Rp. 654.000) per tahun per kapita. Hal tersebut bukanlah diakibatkan terlalu banyaknya penduduk Indonesia. Secara umum, walau jumlah penduduknya terbanyak di Asia Tenggara, alokasi anggarannya (dihitung berdasarkan persen PDB dan APBN) masih terhitung paling rendah di wilayah yang sama. Selain itu, pengeluaran rakyat secara swadaya untuk mendapatkan pelayanan kesehatan masih sangat tinggi.

Betapa besar jasamu Ponari! Meskipun di sisi lain aku juga kasihan karena engkau tidak sekolah. Aku tahu, jika pemerinta bisa memberikan kesehatan gratis pada rakyat... tak terlalu banyak orang yang sakit.

Ya, inilah, Ponari! Inilah negara yang menerapkan sistem kapitalisme! Kapitalisme sebagai bentuk ekonomi yang menjajah dan menindas, di mana pemerintahan negara kita menikmatinya karena mendapatkan keuntungan besar di bawah penderitaan rakyat itu. Tahukah kamu, Ponari! Bahwa kapitalisme atau para pebisnis sebagai tuan kapitalis tidak menginginkan rakyat sehat, mereka menginginkan banyak orang menderita sakit. Taukah mengapa, Ponari?

Karena kapitalisme tak akan berjalan, tuan kapitalis tidak akan dapat hidup dan tak dapat mendapatkan keuntungan jika mereka tidak bisnis obat-obatan atau pelayanan kesehatan! Di sinilah jasamu untuk menarik biaya murah sekali dari air ajaibmu, merupakan anugerah bagi rakyat miskin yang berdesak-desakan itu. Sesungguhnya mereka memang selalu berdesak-desakan sepanjang sejarah, Ponari! Sejarah penindasan di mana mereka siap berkumpul dan menunggu dimasukkan dalam lubang pembantaian sejarah. Lalu orang-orang berkuasa dan tuan-tuan kapitalis akan tertawa kegirangan...

Taukah Kau, Ponari? Orang-orang elit juga sering sakit, terutama sakit perut karena terlalu banyak makan keuntungan dari orang lain yang dihisapnya. Dan ketika sakitnya kambuh mereka tak akan mau datang padamu. Mana mungkin mereka mau datang berdesak-desakan di tempat yang kotor dan dekil... Mereka lebih suka berobat ke Singapura.. bukan di tempatmu, apalagi sebuah tempat yang terpencil di sebelah utara Kabupaten Jombang yang berdekatan dengan Mojokerto tempatmu berada.

Tapi aku melihat wajahmu sudah mulai bosan mendatangi kerumunan orang-orang yang berdesakan itu. Jujurlah, Ponari! Engkau ingin bersekolah lagi, engkau ingin bermain lagi, dan engaku ingin mendapatkan ruang yang lapang untuk berekspresi...

Kembalilah ke Sekolah, Ponari! Bukankah engkau ingin jadi tentara? Karenanya engkau harus belajar... Karena negeri kita butuh tentara yang pintar dan cerdas, yang berpengetahuan luas... Bukan tentara yang kerjaannya menembaki mahasiswa dan menculiki pejuang demokrasi....

Ayolah, Ponari! Engkau jangan hanya mau dijadikan mesin pencari uang yang efektif bagi orang-orang sekelilingmu. . Meskipun menarik biaya yang murah, datangnya puluhan ribu orang yang datang jelas mendatangkan uang yang banyak sebagai imbalan dari pemberian air yang telah kau dicelupi ‘batu ajaib’! Bukankah, banyak uang yang terkumpul dan terus mengalir juga menimbulkan masalah tersendiri. Sebagaimana diberitakan berbagai media, Kau telah menjadi rebutan orang-orang dekat dan anggota keluargamu!

Kau bukan mesin pencari uang, Ponari! Kembalilah ke Sekolah!***

Bedah Buku "MEMAHAMI FILSAFAT CINTA" (Aula STKIP PGRI Trenggalek, Minggu 15 Februari 2009):


klik: http://www.radartulungagung.co.id/radartulungagung/features/174-nurani-soyomukti-pemuda-trenggalek-yang-terbitkan-dua-belas-buku.html

Bedah Buku "MEMAHAMI FILSAFAT CINTA" (Aula STKIP PGRI Trenggalek, Minggu 15 Februari 2009):


http://www.radartulungagung.co.id/radartulungagung/features/174-nurani-soyomukti-pemuda-trenggalek-yang-terbitkan-dua-belas-buku.html